Ibarat penyakit yang sudah akut, kondisi pertikaian sepakbola nasional nyaris tidak dapat lagi diselamatkan.
Sebuah penyakit akut bisa didefinisikan sederhana sebagai sebuah penyakit yang sudah tidak mampu lagi diobati oleh obat-obat yang ada, oleh dokter-dokter hebat bahkan dengan pengobatan tradisional yang terbaik sekalipun.
Demikianlah kiranya yang saat ini terjadi pada persepakbolaan Indonesia.
Kekalahan terbesar dalam sejarah pertandingan internasional Indonesia saat dihajar Bahrain 10-0 (masih untung bukan 12-0 karena ada dua penalti yang gagal menjadi gol), peringkat FIFA terburuk dalam sejarah, kekalahan yang "langka" dari Brunei Darussalam (negara yang selama ini jadi lumbung gol di Asia Tenggara) serta kegagalan Indonesia lolos dari fase grup AFF Cup dengan bumbu pahit diimbangi Laos dan dipermalukan Malaysia....TERNYATA..semua kejadian ini tidak membawa para pihak yang bertikai, PSSI dan KPSI untuk berdamai dan mendahulukan kepentingan 200 juta lebih rakyat Indonesia.
Sepakbola nasional disandera kepentingan dua kelompok.
Saat FIFA dan AFC memberikan "kesabaran luar biasa" terhadap penyelesaian pertikaian yang ada, khususnya dengan pembentukan Joint Committe, PSSI dan KPSI tetap tidak bergeming. Tidak ada lagi ruang untuk berdiskusi dan mencoba menyingkirkan ego masing-masing.
Hanya satu yang terlintas dan terlihat oleh masyarakat Indonesia, PSSI dan KPSI saling mengklaim sebagai pihak yang paling benar.
Sejujurnya rakyat yang mencintai sepakbola di Indonesia tidak akan peduli siapa yang menakhodai PSSI. Rakyat hanya peduli dengan sepakbola itu sendiri.
Liga yang berjalan dengan profesional, Tim nasional yang mampu tampil penuh semangat dan pemain-pemain berbakat Indonesia bisa tampil mentas di ajang internasional.
Jadi, dengan semua kekisruhan yang ada saat ini. Dengan kondisi "penyakit" yang sudah sedemikian akut, mungkin LEBIH BAIK bila Indonesia dijatuhi sanksi oleh FIFA.
Sanksi FIFA mungkin akan menyadarkan pihak-pihak yang bertikai untuk kembali memikirkan kepentingan rakyat pecinta sepakbola Indonesia atau bahkan bisa menjadi momentum memutuskan generasi lama dalam kepemimpinan sepakbola nasional yang penuh nuansa politik dengan kepemimpinan baru yang lebih segar dan tidak terikat dengan masa lalu sepakbola nasional yang minim prestasi.
Semoga FIFA memutuskan yang "terbaik" bagi sepakbola Indonesia, apapun itu, di sanksi atau pun tidak.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar